Sajak ibu
Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
Tetapi menangis ketika aku susah
Ibu tak bisa memejamkan mata
Bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah besar
Bila kami merebut jatah makan
Yang bukan hak kami
Ibuku memberi pelajaran keadilan
Dengan kasih sayang
Ketabahan ibuku
Mengubah rasa sayur murah
Jadi sedap
Ibu menangis ketika aku mendapat susah
Ibu menangis ketika aku bahagia
Ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
Ibu menangis ketika adikku keluar penjara
Ibu adalah hati yang rela menerima
Selalu disakiti oleh anak-anaknya
Penuh maaf dan ampun
Kasih sayang ibu
Adalah kilau sinar kegaiban tuhan
Membangkitkan haru insan
Dengan kebajikan
Ibu mengenalkan aku kepada tuhan
Solo, 1986
Sajak kepada bung dadi
Ini tanahmu juga
Rumah-rumah yang berdesakan
Manusia dan nestapa
Kampung halaman gadis-gadis muda
Buruh-buruh berangkat pagi pulang sore
Dengan gaji tak pantas
Kampung orang-orang kecil
Yang dibikin bingung
Oleh surat-surat izin dan kebijaksanaan
Dibikin tunduk mengangguk
Bungkuk
Ini tanah airmu
Di sini kita bukan turis
Solo-sorogenen, malam pemilu 87
Catatan 88
Saban malam
Dendam dipendam
Protes diam-diam
Dibungkus gurauan
Saban malam
Menyanyi menyabarkan diri
Bau tembakau dan keringat di badan
Campur aduk dengan kegelisahan
Saban malam
Mencoba bertahan menghadapi kebosanan
Menegakkan diri dengan harapan-harapan
Dan senyum rawan
Saban malam
Rencana-rencana menumpuk jadi kuburan
Solo-sorogenen, 1 september 88
Jalan slamet riyadi solo
Dulu kanan dan kiri jalan ini
Pohon-pohon asam besar melulu
Saban lebaran dengan teman sekampung
Jalan berombongan
Ke taman sriwedari nonton gajah
Banyak yang berubah kini
Ada holland bakery
Ada diskotik ada taksi
Gajahnya juga sudah dipindah
Loteng-loteng arsitektur cina
Kepangkas jadi gedung tegak lurus
Hanya kereta api itu
Masih hitam legam
Dan terus mengerang
Memberi peringatan pak-pak becak
Yang nekat potong jalan
“hei hati hati
Cepat menepi ada polisi
Banmu digembos lagi nanti!”
Solo, mei-juni 1991
Batas panggung
Kepada para pelaku
Ini adalah daerah kekuasaan kami
Jangan lewati batas ini
Jangan campuri apa yang terjadi di sini
Karena kalian penonton
Kalian adalah orang luar
Jangan rubah cerita yang telah kami susun
Jangan belokkan jalan cerita yang telah kami rencanakan
Karena kalian adalah penonton
Kalian adalah orang luar
Kalian harus diam
Panggung seluas ini hanya untuk kami
Apa yang terjadi d sini
Jangan ditawar-tawar lagi
Panggung seluas ini hanya untuk kami
Jangan coba bawa pertanyaan-pertanyaan berbahaya
Ke dalam permainan ini
Panggung seluas ini hanya untuk kami
Kalian harus bayar kami
Untuk membiayai apa yang kami kerjakan di sini
Biarkan kami menjalankan kekuasaan kami
Tontonlah
Tempatmu di situ
Solo, 21 november 91
Ceritakanlah ini kepada siapa pun
Panas campur debu
Terbawa angin ke mana-mana
Koran hari ini memberitakan
Kedungombo menyusut kekeringan
Korban pembangunan dam
Muncul kembali ke permukaan
Tanah-tanah bengkah
Pohon-pohon besar malang-melintang
Makam-makam bangkit dari ingatan
Mereka yang dulu diam
Kali ini
Cerita itu siapa akan membantah
Dasar waduk ini dulu dusun rumah-rumah
Waktu juga yang menyingkap
Retorika penguasa
Walau senjata ditodongkan kepadamu
Walau sepatu di atas kepalamu
Di atas kepalaku
Di atas kepala kita
Ceritakanlah ini kepada siapa pun
Sebab cerita ini belum tamat
Solo, 30 agustus 91
Tetangga sebelahku
Tetangga sebelahku
Pintar bikin suling bambu
Dan memainkan banyak lagu
Tetangga sebelahku
Kerap pinjam gitar
Nyanyi sama anak-anaknya
Kuping sebelahnya rusak
Dipopor senapan
Tetangga sebelahku
Hidup bagai dalam benteng
Melongok-longok selalu
Membaca bahaya
Tetangga sebelahku
Diterror masa lalu
Kalangan-solo, november 1991
Hujan
Mendung hitam tebal
Masukkan itu jemuran
Dan bantal-bantal
Periksa lagi genting-genting
Barangkali bocornya pindah
Udara gerah
Ruangan gelap
Listrik tak nyala
Mana anak kita?
Hujan akan lebat lagi nampaknya
Semoga tanpa angin keras
Burung-burung parkit itu
Masih berkicau juga dalam kandangnya
Burung-burung parkit itu
Apakah juga pingin punya rumah sendiri
Seperti kami?
Kalangan-solo, 25 november 91
Lingkungan kita si mulut besar
Lingkungan kita si mulut besar
Dihuni lintah-lintah
Yang kenyang menghisap darah keringat tetangga
Dan anjing-anjing yang taat beribadah
Menyingkiri para panganggur
Yang mabuk minuman murahan
Lingkungan kita si mulut besar
Raksasa yang membisu
Yang anak-anaknya terus dirampok
Dan dihibur film-film kartun amerika
Perempuannya disetor
Ke mesin-mesin industri
Yang membayar murah
Lingkungan kita si mulut besar
Sakit perut dan terus berak
Mencret oli dan logam
Busa dan plastik
Dan zat-zat pewarna yang merangsang
Menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
Yang mengulum es
Limapuluh perak
Kampung kalangan-solo, desember 1991
Megatruh solidaritas
Akulah bocah cilik itu
Kini aku datang kepada dirimu
Akan kuceritakan masa kanak-kanakmu
Akulah bocah cilik itu
Yang tak berani pulang
Karena mencuri uang simbok
Untuk beli benang layang-layang
Akulah bocah cilik itu
Yang menjual gelang simbok
Dan ludes dalam permainan dadu
Akulah bocah cilik kurus itu
Yang tak pernah menang bila berkelahi
Yang selalu menangis bila bermain sepak-sepong
Aku adalah salah seorang dari bocah-bocah kucel
Yang mengoreki tumpukan sampah
Mencari sisa kacang atom
Dan sisa moto buangan pabrik
Akulah bocah bengal itu
Yang kelayapan di tengah arena sekaten
Nyrobot brondong dan celengan
Dan menangis di tengah jalan
Karena tak bisa pulang
Akulah bocah cilik itu
Yang ramai-ramai rebutan kulit durian
Dan digigit anjing ketika nonton telepisi
Di rumah bah sabun
Ya engkaulah bocah cilik itu
Sekarang umurku dua puluh empat
Ya akulah bocah cilik itu
Sekarang aku datang kepada dirimu
Karena kudengar kabar
Seorang kawan kita mati terkapar
Mati ditembak mayatnya dibuang
Kepalanya koyak
Darahnya mengental
Dalam selokan
Solo, 31 januari 1987
Catatan suram
Kucing hitam jalan pelan
Meloncat turun dari atap
Tiga orang muncul dalam gelap
Sembunyi menggenggam besi
Kucing hitam jalan pelan-pelan
Diikuti bayang-bayang
Ketika sampai di mulut gang
Tiga orang menggeram
Melepaskan pukulan
Bulan disaput awan meremang
Saksikan perayaan kemiskinan
Daging kucing pindah
Ke perut orang!
Solo, 1987
Gumam sehari-hari
Di ujung sana ada pabrik roti
Kami beli yang remah-remah
Karena murah
Di ujung sana ada tempat penyembelihan sapi
Dan kami kebagian bau
Kotoran air selokan dan tai
Di ujung sana ada perusahaan daging abon
Setiap pagi kami beli kuahnya
Dimasak campur sayur
Di pinggir jalan
Berdiri toko-toko baru
Dan macam-macam bangunan
Kampung kami di belakangnya
Riuh dan berjubel
Seperti kutu kere kumal
Terus berbiak!
Membengkak tak tercegah!
Jagalan, kalangan solo, 29 januari 1989
Catatan hari ini
Aku nganggur lagi
Semalam ibu tidur di kursi
Jam dua lebih aku menulis puisi
Aku duduk menghadap meja
Ibu kelap-kelip matanya ngitung utang
Jam enam sore:
Bapak pulang kerja
Setelah makan sepiring
Lalu mandi tanpa sabun
Tadi siang ibu tanya padaku:
Kapan ada uang?
Jam setengah tujuh malam
Aku berangkat latihan teater
Apakah seni bisa memperbaiki hidup?
Solo, juni 86
Reportase dari puskesmas
Barangkali karena ikan laut yang kumakan ya
Barangkali ikan laut. Seminggu ini
Tubuhku gatal-gatal ya.. Gatal-gatal
Karena itu dengan lima ratus rupiah aku daftarkan
Diri ke loket, ternyata cuma seratus lima puluh
Murah sekali oo.. Murah sekali! Lalu aku menunggu
Berdiri. Bukan aku saja. Tapi berpuluh-puluh
Bayi digendong. Orang-orang batuk
Kursi-kursi tak cukup maka berdirilah aku.
“sakit apa pak?”
Aku bertanya kepada seorang bapak berkaos lorek
Kurus. Bersandal jepit dan yang kemudian mengaku
Sebagai penjual kaos celana pakaian rombeng di pasar johar.
“batuk-pilek-pusing-sesek nafas
Wah! Campur jadi satu nak!”
Bayangkan tiga hari menggigil panas tak tidur
Ceritanya kepadaku. Mendengar cerita lelaki itu
Seorang ibu (40 th) menjerit gembira:
“ya ampun rupanya bukan aku saja!”
Di ruang tunggu berjejal yang sakit pagi itu
Sakit gigi mules mencret demam semua bersatu.
Jadi satu. Menunggu.
O ya pagi itu seorang tukang kayu sudah tiga hari
Tak kerja. Kakinya merah bengkak gemetar
“menginjak paku!” Katanya, meringis.
Puskesmas itu demokratis sekali, pikirku
Sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam
Tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
Ini namanya sama rasa sama rasa.
Ini namanya setiap warga negara mendapatkan haknya
Semua yang sakit diberi obat yang sama!
Semarang, 86
Pulanglah nang
Pulanglah nang
Jangan dolanan sama si kuncung
Si kuncung memang nakal
Nanti bajumu kotor lagi
Disirami air selokan
Pulanglah nang
Nanti kamu manangis lagi
Jangan dolanan sama anaknya pak kerto
Si bejo memang mbeling
Kukunya hitam panjang-panjang
Kalau makan tidak cuci tangan
Nanti kamu ketularan cacingan
Pulanglah nang
Kamu kan punya mobil-mobilan
Kapal terbang bikinan taiwan
Senapan atom bikinan jepang
Kamu kan punya robot yang bisa jalan sendiri
Pulanglah nang
Nanti kamu digebugi mamimu lagi
Kamu pasti belum tidur siang
Pulanglah nang
Jangan dolanan sama anaknya mbok sukiyem
Mbok sukiyem memang keterlaluan
Si slamet sudah besar tapi belum disekolahkan
Pulanglah nang
Pasti papimu marah lagi
Kamu pasti belum bikin pr
Belajar yang rajin
Biar nanti jadi dokter
Solo, september 86
Monumen bambu runcing
Monumen bambu runcing
Di tengah kota
Menuding dan berteriak merdeka
Di kakinya tak jemu juga
Pedagang kaki lima berderet-deret
Walau berulang-ulang
Dihalau petugas ketertiban
Semarang, 1 maret 86
Riwayat
Seperti tanah lempung
Pinggir kampung
Masa laluku kuaduk-aduk
Kubikin bentuk-bentuk
Patung peringatan
Berkali-kali
Kuhancurkan
Kubentuk lagi
Kuhancurkan
Kubentuk lagi
Patungku tak jadi-jadi
Aku ingin sempurna
Patungku tak jadi-jadi
Lihat!
Diriku makin belepotan
Dalam penciptaan
Kalangan, oktober 87
Suara dari rumah-rumah miring
Di sini kamu bisa menikmati cicit tikus
Di dalam rumah miring ini
Kami mencium selokan dan sampan
Bagi kami setiap hari adalah kebisingan
Di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat
Bersama tumpukan gombal-gombal
Dan piring-piring
Di sini kami bersetubuh dan melahirkan
Anak-anak kami
Di dalam rumah miring ini
Kami melihat matahari menyelinap
Dari atap ke atap
Meloncati selokan
Seperti pencuri
Radio dari segenap penjuru
Tak henti-hentinya membujuk kami
Merampas waktu kami dengan tawaran-tawaran
Sandiwara obat-obatan
Dan berita-berita yang meragukan
Kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak
Tapi bersama hari-hari pengap yang menggelinding
Kami harus angkat kaki
Karena kami adalah gelandangan
Solo, oktober 87
Catatan malam
Anjing nyalak
Lampuku padam
Aku nelentang
Sendirian
Kepala di bantal
Pikiran menerawang
Membayang pernikahan
(pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam)
Kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat
Aku ini penyair miskin
Tapi kekasihku cinta
Cinta menuntun kami ke masa depan
Solo-kalangan, 23 februari 88
Nyanyian akar rumput
Jalan raya dilebarkan
Kami terusir
Mendirikan kampung
Digusur
Kami pindah-pindah
Menempel di tembok-tembok
Dicabut
Terbuang
Kami rumput
Butuh tanah
Dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!
Juli 1988
Catatan
Udara ac asing di tubuhku
Mataku bingung melihat
Deretan buku-buku sastra
Dan buku-buku tebal intelektual terkemuka
Tetapi harganya
Ooo.. Aku ternganga
Musik stereo mengitariku
Penjaga stand cantik-cantik
Sandal jepit dan ubin mengkilat
Betapa jauh jarak kami
Uang sepuluh ribu di sakuku
Di sini hanya dapat 2 buku
Untuk keluargaku cukup buat
Makan seminggu
Gemerlap toko-toko di kota
Dan kumuh kampungku
Dua dunia yang tak pernah bertemu
Solo, 87-88
Ucapkan kata-katamu
Jika kau tak sanggup lagi bertanya
Kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
Jika kau tahan kata-katamu
Mulutmu tak bisa mengucapkan
Apa maumu terampas
Kau akan diperlakukan seperti batu
Dibuang dipungut
Atau dicabut seperti rumput
Atau menganga
Diisi apa saja menerima
Tak bisa ambil bagian
Jka kau tak berani lagi bertanya
Kita akan jadi korban keputusan-keputusan
Jangan kau penjarakan ucapanmu
Jika kau menghamba pada ketakutan
Kita akan memperpanjang barisan perbudakan
Kemasan-kentingan-sorogenen
Sajak bapak tua
Bapak tua
Kulitnya coklat dibakar matahari kota
Jidatnya berlipat-lipat seperti sobekan luka
Pipinya gosong disapu angin panas
Tenaganya dikuras
Di jalan raya siang tadi
Sekarang bapak mendengkur
Dan ketika bayangan esok pagi datang
Di dalam kepalaku
Bis tingkat itu tiba-tiba berubah
Jadi ikan kakap raksasa
Becak-becak jadi ikan teri
Yang tak berdaya
Solo, juni 1987
Sajak bagong
Bagong namanya
Tantanglah berkelahi
Kepalamu pasti dikepruk batu
Bawalah whisky
Bahumu pasti ditepuk-tepuk gembira
Ajaklah omong
Tapi jangan khotbah
Ia akan kentut
Bagong namanya
Malam begadang
Subuh tidur bangun siang
Sore parkir untuk makan
Awas jangan ngebut di depan matanya
Engkau bisa dipukuli
Lalu ditinggal pergi
Ya, ya.. Bagong namanya
Pemilu kemarin besar jasanya
Bagong ya bangong
Tapi bagong sudah mati
Pada suatu pagi
Mayatnya ditemukan orang
Di tepi rel kereta api
Setahun yang lalu
Ya, ya.. Setahun yang lalu
Sajak kota
Kota macam apa yang kita bangun
Mimpi siapa yang ditanam
Di benak rakyat
Siapa yang merencanakan
Lampu-lampu menyibak
Jalan raya dilicinkan
Di aspal oleh uang rakyat
Motor-motor mulus meluncur
Merek-merek iklan
Di atap gedung
Menyala
Berjejer-jejer
Toko roti
Toko sepatu
Berjejer-jejer
Salon-salon kecantikan
Siapa merencanakan nasib rakyat?
Pemandangan
Aku pangling betul
Pada ini jalan jendral sudirman
Balaikota makin berubah
Sampai slamet riyadi-gladag
Reklame rokok berkibar-kibar
Spanduk show band
Pameran rumah murah
(tapi harganya jutaan!)
Kehingaran jalan raya
Menyolok mata
Jendral sudirman
Dihiasi slogan-slogan pembangunan
Tapi kantor pos belum berubah
Bank-bank dan gereja makin megah
Di pojok ronggowarsito
Ada aturan baru
Becak dilarang terus
(bis kota turah-turah penumpang!)
Solo, desember 87
Aku lebih suka dagelan
Di radio aku mendengar berita
Katanya partisipasi politik rakyat kita sangat menggembirakan
Tapi kudengar dari mulut seorang kawanku
Dia diinterogasi dipanggil gurunya
Karena ikut kampanye pdi
Dan di kampungku ibu rt
Tak mau menegor sapa warganya
Hanya karena ia golkar
Ada juga yang saling bertengkar
Padahal rumah mereka bersebelahan
Penyebabnya hanya karena mereka berbeda tanda gambar
Ada juga kontestan yang nyogok
Tukang-tukang becak
Akibatnya dalam kampanye banyak
Yang mencak-mencak
Di radio aku mendengar berita-berita
Tapi aku jadi muak karena isinya
Kebohongan yang tak mengatakan kenyataan
Untunglah warta berita segera bubar
Acara yang kutunggu-tunggu datang: dagelan!
Solo, 87
Sajak setumbu nasi sepanci sayur
Setumbu nasi
Sepanci sayur kobis
Renungan hari ini
Berjongkok di dapur
Angan terbuka seperti layar bioskop
Bising mesin
Bis kota merdeka berlaga di jalan raya
Becak-becak berpeluh melawan jalan raya
Siapa pengatur jalan kaki
Siapa pemerintah kaki lima
Begitu patuh mereka diusir pergi
Begitu berani mereka datang kembali
Gemuruh kota menggaru benakku
Berjongkok di dapur
Kompor kering
Kayu tempat piring-piring
Gedung-gedung beranak pinak
Nyanyian abang becak
Jika harga minyak mundhak
Simbok semakin ajeg berkelahi sama bapak
Harga minyak mundhak lombok-lombok akan mundhak
Sandang pangan akan mundhak
Maka terpaksa tukang-tukang lebon
Lintah darat bank plecit tukang kredit harus dilayani
Siapa tidak marah bila kebutuhan hidup semakin mendesak
Seribu lima ratus uang belanja tertinggi dari bapak untuk simbok
Siapa bisa mencukupi
Sedangkan kebutuhan hidup semakin mendesak
Maka simbok pun mencak-mencak:
“pak-pak anak kita kebacut metu papat lho!”
Bayaran sekolahnya anak-anak nunggak lho!”
Si penceng muntah ngising, perutku malah sudah
Isi lagi dan suk selasa pon ana sumbangan maneh
Si sebloh dadi manten!”
Jika bbm kembali menginjak
Namun juga masih disebut langkah-langkah kebijaksanaan
Maka aku tidak akan lagi memohon pembangunan
Nasib
Kepadamu duh pangeran duh gusti
Sebab nasib adalah permainan kekuasaan
Lampu butuh menyala, menyala butuh minyak
Perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi
Namun bapak cuma abang becak!
Maka apabila becak pusaka keluarga pulang tanpa membawa uang
Simbok akan kembali mengajak berkelahi bapak.
Solo, 1984
Jalan
Aspal leleh tengah hari
Silau aku oleh sinar matahari
Gedung-gedung baru berdiri
Arsitektur lama satu-satu hilang
Dimakan pembangunan
Jalan kiri kanan dilebarkan
Becak-becak melompong di pinggiran
Yang jalan kaki
Yang digenjot
Yang jalan bensin
Semua ingin jalan
Solo, 22 november 90
Pasar malam sriwedari
Beli karcis di loket
Pengemis tua muda anak-anak
Mengulurkan tangan
Masuk arena corong-corong berteriak
Udara terang benderang tapi sesak
Di stand perusahaan rokok besar
Perempuan montok menawarkan dagangannya
Di stand jamu tradisionil
Kere-kere di depan video berjongkok
Nonton silat mandarin
Di dalam gedung wayang wong
Penonton lima belas orang
Ada pedagang kaki lima
Yang liar tak berizin
Setiap saat bisa diusir keamanan
Solo, 28 mei 86
Sajak tikar plastik-tikar pandan
Tikar plastik tikar pandan
Kita duduk berhadapan
Tikar plastik tikar pandan
Lambang dua kekuatan
Tikar plastik bikinan pabrik
Tikar pandan dianyam tangan
Tikar plastik makin mendesak
Tikar pandan bertahan
Kalian duduk di mana?
Solo, april 88
Lumut
Dalam gang pikiranku menggumam
Seperti kemarin saja
Kini los rumah yang dulu kami tempati
Jadi bangunan berpagar tembok tinggi
Aku jalan lagi
Melewati rumah yang pernah disewa
Riyanto buruh kawan sekerjaku
Ke mana lagi dia sekeluarga
Rumah itu kini gantian di sewa
Keluarga mbak nina
Kampung ini tak memiliki tanah lapang lagi
Tanah-tanah kosong sudah dibeli orang
Dalam gang
Setengah gelap setengah terang
Aku menemukan perumpamaan:
Kita ini lumut
Menempel di tembok-tembok bangunan
Berkembang di pingir-pinggir selokan
Di musim kemarau kering
Diterjang banjir
Tetap hidup
Kalau keadaan berubah
Perumpamaan boleh berubah
Menurutmu sendiri
Kita ini siapa?
Kalangan solo, 8 februari 91
Tanah
Tanah mestinya di bagi-bagi
Jika cuma segelintir orang
Yang menguasai
Bagaimana hari esok kamu tani
Tanah mestinya ditanami
Sebab hidup tidak hanya hari ini
Jika sawah diratakan
Rimbun semak pohon dirubuhkan
Apa yang kita harap
Dari cerobong asap besi
Hari ini aku mimpi buruk lagi
Seekor burung kecil menanti induknya
Di dalam sarangnya yang gemeretak
Dimakan sapi
1989-solo
Sajak tapi sayang
Kembang dari pinggir jalan
Kembang yang tumbuh di tembok
Tembok selokan
Kupindah kutanam di halaman depan
Anakku senang bojoku senang
Tapi sayang
Bojoku ingin nanam lombok
Anakku ingin kolam ikan
Tapi sayang
Setelah sewa rumah habis
Kami harus pergi
Terus cari sewa lagi
Terus cari sewa lagi
Alamat rumah kami punya
Tapi sayang
Kamu butuh tanah
25 januari 91 – solo
Gentong kosong
Parit susut
Tanah kerontang
Langit mengkilau perak
Matahari menggosongkan pipi
Gentong kosong
Beras segelas cuma
Masak apa kita hari ini?
Pakis-pakis hijau
Bawang putih dan garam
Kepadamu kami berterimakasih
Atas jawabanmu
Pada sang lapar hari ini
Gentong kosong
Airmu kering
Ciduk jatuh bergelontang
Minum apa hari ini?
Sungai-sungai pinggir hutan
Yang menolong di panas terik
Dan kalian pucuk-pucuk muda daun pohon karet
Yang mendidih bersama ikan teri di panci
Jadilah tenaga hidup kami hari ini
Dengan iris-irisan ubi keladi
Yang digoreng dengan minyak
Persediaan terakhir kami
Gentong kosong
Botol kosong
Marilah bernyanyi
Merayakan hidup ini
6 januari 97
Kucing, ikan asin dan aku
Seekor kucing kurus
Menggondol ikan asin
Laukku untuk siang ini
Aku meloncat
Kuraih pisau
Biar kubacok dia
Biar mampus!
Ia tak lari
Tapi mendongak
Menatapku
Tajam
Mendadak
Lunglai tanganku
-aku melihat diriku sendiri
Lalu kami berbagi
Kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
Aku hidup
Ia hidup
Kami sama-sama makan
14 oktober 1996
Nonton harga
Ayo keluar keliling kota
Tak perlu ongkos tak perlu biaya
Masuk toko perbelanjaan tingkat lima
Tak beli tak apa
Lihat-lihat saja
Kalau pingin durian
Apel-pisang-rambutan-anggur
Ayo..
Kita bisa mencium baunya
Mengumbar hidung cuma-cuma
Tak perlu ongkos tak perlu biaya
Di kota kita
Buah macam apa
Asal mana saja
Ada
Kalau pingin lihat orang cantik
Di kota kita banyak gedung bioskop
Kita bisa nonton posternya
Atau ke diskotik
Di depan pintu
Kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
Mendengarkan detak musik
Denting botol
Lengking dan tawa
Bisa juga kau nikmati
Aroma minyak wangi luar negeri
Cuma-cuma
Aromanya saja
Ayo..
Kita keliling kota
Hari ini ada peresmian hotel baru
Berbintang lima
Dibuka pejabat tinggi
Dihadiri artis-artis ternama ibukota
Lihat
Mobil para tamu berderet-deret
Satu kilometer panjangnya
Kota kita memang makin megah dan kaya
Tapi hari sudah malam
Ayo kita pulang
Ke rumah kontrakan
Sebelum kehabisan kendaraan
Ayo kita pulang
Ke rumah kontrakan
Tidur berderet-deret
Seperti ikan tangkapan
Siap dijual di pelelangan
Besok pagi
Kita ke pabrik
Kembali bekerja
Sarapan nasi bungkus
Ngutang
Seperti biasa
18 november 96
Derita sudah naik seleher
Kaulempar aku dalam gelap
Hingga hidupku menjadi gelap
Kausiksa aku sangat keras
Hingga aku makin mengeras
Kau paksa aku terus menunduk
Tapi keputusan tambah tegak
Darah sudah kau teteskan
Dari bibirku
Luka sudah kau bilurkan
Ke sekujur tubuhku
Cahaya sudah kau rampas
Dari biji mataku
Derita sudah naik seleher
Kau Menindas Sampai Di luar batas
17 november 96
Puisi sikap
Maunya mulutmu bicara terus
Tapi telingamu tak mau mendengar
Maumu aku ini jadi pendengar terus
Bisu
Kamu memang punya tank
Tapi salah besar kamu
Kalau karena itu
Aku lantas manut
Andai benar
Ada kehidupan lagi nanti
Setelah kehidupan ini
Maka akan kuceritakan kepada semua mahkluk
Bahwa sepanjang umurku dulu
Telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
Dan kuhabiskan hidupku
Untuk menentangmu
Hei penguasa zalim
24 januari 97
Hari ini aku akan bersiul-siul
Pada hari coblosan nanti
Aku akan masuk ke dapur
Akan kujumlah gelas dan sendokku
Apakah jumlahnya bertambah
Setelah pemilu bubar?
Pemilu oo.. Pilu pilu
Bila hari coblosan tiba nanti
Aku tak akan pergi kemana-mana
Aku ingin di rumah saja
Mengisi jambangan
Atau mananak nasi
Pemilu oo.. Pilu pilu
Nanti akan kuceritakan kepadamu
Apakah jadi penuh karung beras
Minyak tanah
Gula
Atau bumbu masak
Setelah suaramu dihitung
Dan pesta demokrasi dinyatakan selesai
Nanti akan kuceritakan kepadamu
Pemilu oo.. Pilu pilu
Bila tiba harinya
Hari coblosan
Aku tak akan ikut berbondong-bondong
Ke tempat pemungutan suara
Aku tidak akan datang
Aku tidak akan menyerahkan suaraku
Aku tidak akan ikutan masuk
Ke dalam kotak suara itu
Pemilu oo.. Pilu pilu
Aku akan bersiul-siul
Memproklamasikan kemerdekaanku
Aku akan mandi
Dan bernyanyi sekeras-kerasnya
Pemilu oo.. Pilu pilu
Hari itu aku akan mengibarkan hakku
Tinggi tinggi
Akan kurayakan dengan nasi hangat
Sambel bawang dan ikan asin
Pemilu oo.. Pilu pilu
Sambel bawang dan ikan asin
10 november 96
Merontokkan pidato
Bermingu-minggu ratusan jam
Aku dipaksa
Akrab dengan sudut-sudut kamar
Lobang-lobang udara
Lalat semut dan kecoa
Tapi catatlah
Mereka gagal memaksaku
Aku tak akan mengakui kesalahanku
Karena berpikir merdeka bukanlah kesalahan
Bukan dosa bukan aib bukan cacat
Yang harus disembunyikan
Kubaca koran
Kucari apa yang tidak tertulis
Kutonton televisi
Kulihat apa yang tidak diperlihatkan
Kukibas-kibaskan pidatomu itu
Dalam kepalaku hingga rontok
Maka terang benderanglah
:ucapan penguasa selalu dibenarkan
Laras senapan!
Tapi dengarlah
Aku tak akan minta ampun
Pada kemerdekaan ini
11 september 96
Puisi menolak patuh
Walau penguasa menyatakan keadaan darurat
Dan memberlakukan jam malam
Kegembiraanku tak akan berubah
Seperti kupu-kupu
Sayapnya tetap indah
Meski air kali keruh
Pertarungan para jendral
Tak ada sangkut pautnya
Dengan kebahagiaanku
Seperti cuaca yang kacau
Hujan angin kencang serta terik panas
Tidak akan mempersempit atau memperluas langit
Lapar tetap lapar
Tentara di jalan-jalan raya
Pidato kenegaraan atau siaran pemerintah
Tentang kenaikkan pendapatan rakyat
Tidak akan mengubah lapar
Dan terbitnya kata-kata dalam diriku
Tak bisa dicegah
Bagaimana kau akan membungkamku?
Penjara sekalipun
Tak bakal mampu
Mendidikku jadi patuh
17 januari 97
Gunungbatu
Gunungbatu
Desa yang melahirkan laki-laki
Kuli-kuli perkebunan
Seharian memikul kerja
Setiap pagi makin bungkuk
Dijaga mandor dan traktor
Delapan ratus gaji sehari
Di rumah ditunggu
Mulut perut anak istri
Gunungbatu
Desa yang melahirkan laki-laki
Pencuri-pencuri
Menembak binatang di hutan lindung
Mengambil telur penyu
Di pantai terlarang
Demi piring nasi
Kehidupan sehari-hari
Gunungbatu
Desa terpencil jawa barat
Dipagari hutan
Dibatasi pantai-pantai cantik
Ujung genteng, cibuaya, pangumbahan
Sulit transportasi
-jakarta dekat-
Sulit komunikasi
Sejarah gunungbatu
Sejarah kuli-kuli
Sejak kolonial
Sampai republik merdeka
Sejarah gunungbatu
Sejarah kuli-kuli
Gunungbatu
Masih di tanah air ini
November 87
Suti
Suti tidak kerja lagi
Pucat ia duduk dekat amben-nya
Suti di rumah saja
Tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
Batuknya memburu
Dahaknya berdarah
Tak ada biaya
Suti kusut-masai
Di benaknya menggelegar suara mesin
Kuyu matanya membayangkan
Buruh-buruh yang berangkat pagi
Pulang petang
Hidup pas-pasan
Gaji kurang
Dicekik kebutuhan
Suti meraba wajahnya sendiri
Tubuhnya makin susut saja
Makin kurus menonjol tulang pipinya
Loyo tenaganya
Bertahun-tahun dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
Ia ingat kawannya
Sri yang mati
Karena rusak paru-parunya
Suti meludah
Dan lagi-lagi darah
Suti memejamkan mata
Suara mesin kembali menggemuruh
Bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
Tahu mereka dibayar murah
Suti meludah
Dan lagi-lagi darah
Suti merenungi resep dokter
Tak ada uang
Tak ada obat
Solo, 27 februari 88
Apa yang berharga dari puisiku
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah
Karena belum membayar spp
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
Jika nasi harus dibeli dengan uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak ada?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau bapak bertengkar dengan ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
Kalau bis kota lebih murah siapa yang salah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau ibu dijiret utang
Kalau tetangga dijiret utang?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau kami terdesak mendirikan rumah
Di tanah-tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah semakin mahal
Kami tak mampu membeli
Salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau orang sakit mati di rumah
Karena rumah sakit yang mahal
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?
Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisi memberi keplokan
Apa yang telah kuberikan
Apa yang telah kuberikan?
Semarang, 6 maret 86
Mendongkel orang-orang pintar
Kudongkel keluar
Orang-orang pintar
Dari dalam kepalaku
Aku tak tergetar lagi
Oleh mulut-mulut orang pintar
Yang bersemangat ketika berbicara
Dunia bergerak bukan karena omongan
Para pembicara dalam ruang seminar
Yang ucapannya dimuat
Di halaman surat kabar
Mungkin pembaca terkagum-kagum
Tapi dunia tak bergerak
Setelah surat kabar itu dilipat
Kampung halaman solo, 8 september 1993
Kota ini milik kalian
Di belakang gedung-gedung tinggi
Kalian boleh tinggal
Kalian bebas tidur di mana-mana kapan saja
Kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
Jika kedinginan karena gerimis atau hujan
Kalian bisa mencari hangat
Di sana ada restoran
Kalian bisa tidur dekat kompor penggorengan
Bakmi ayam dan babi
Denting garpu dan sepatu mengkilap
Di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan jepang
Kalian bisa mandi kapan saja
Sungai itu milik kalian
Kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri
Apa belum cukup terang benderang itu
Lampu merkuri taman
Apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
Kota ini milik kalian
Kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu; jangan!
Pesan sang ibu
Tatkala aku menyarungkan pedang
Dan bersimpuh di atas pangkuanmu,
Tertumpah rasa kerinduanku pada sang ibu
Tangannya yang halus mulus membelai kepalaku, bergetarlah seluruh jiwa ragaku
Musnahlah seluruh api semangat juangku
Namun sang ibu berkata” anakku sayang, apabila kakimu sudah melangkah di tengah padang, tancapkanlah kakimu dalam2 dan tetaplah terus bergumam sebab gumam adalah mantra dari dewa-dewa, gumam mengandung ribuan makna.”
“apabila gumam sudah menyatu dengan jiwa raga, maka gumam akan berubah menjadi teriakan-teriakan. Yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang besar yang nantinya akan mampu merobohkan isrtana yang penuh kepalsuan gedung-gedung yang dihuni kaum munafik”
“tatanan negeri ini sudah hancur anakku”
“dihancurkan oleh sang penguasa negeri ini
Mereka hanya bisa bersolek di depan kaca tapi membiarkannya punggungnya penuh noda dan penuh lendir hitan yang baunya kemana mana
Mereka selalu menyemprot kemaluannya denang parfum luar negeri
Di luar berbau wangi di dalam penuh dengan bakteri
Dan hebatnya sang penguasa negeri ini pandai bermaniin akrobat
Tubuhnya mampu dilipat-lipat yang akhirnya. Pantat dan kemaluannya sendiri mampu dijilat-jilat
Anakku apabila pedang sudah dicabut janganlah surut janganlah bicara soal menang dan kalah, sebab menang dan kalah hanyalah mimpi-mimpi, mimpi-mimpi muncul dari sebuah keinginan,
Keinginan hanyalah sebuah khayalan , yang akan melahirkan harta dan kekuasaan.
Harta dan kekuasaan hanyalah balon-balon sabun yang terbang di udara
Anakku asahlah pedangmu, ajaklah mereka bertarung di tengah padang, lalu tusukkan pedangmu di tengah-tengah selangkangan mereka. Biarkan darah tertumpah di negeri ini”
Satukan gumammu menjadi revolusi!!!
Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa
Aku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat
Penguasa
Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan
Mencari jalan
Ia tak mati-mati
Meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati
Meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi
Ia tak mati-mati
Telah kubayar yang dia minta
Umur-tenaga-luka
Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata
Kau masih hidup
Aku memang masih utuh
Dan kata-kata belum binasa
(wiji thukul.18 juni 1997)
Penyair
Jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
Sarang jagat teater 19 januari 1988
sumber : Wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar